Apakah Aqiqah Wajib Dalam Islam?

Apa Hukum Aqiqah Dalam Islam

Sebelum membahas tentang hukum apakah aqiqah wajib? Terlebih dahulu saya ingin mengingatkan bahwa aqiqah merupakan salah satu syariat islam yang agung, di mana setiap orang tua disyariatkan untuk menunaikannya terkait dengan kelahiran anaknya.

Ketika aqiqah dilaksanakan, berarti orang tua telah menunaikan salah satu ibadah kepada Allah Ta’ala. Kita semua tentu memahami betapa pentingnya beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla, dan butuhnya kita untuk memperbanyak amal ibadah dalam kehidupan dunia ini.

Apakah Aqiqah Wajib dalam Islam? Simak Ulasannya!

Apakah aqiqah wajib? Apa hukum aqiqah yang sebenarnya dalam islam? Hal ini penting untuk diketahui, agar setiap muslim mengetahui bagaimana kedudukan aqiqah di dalam islam.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah menegaskan dalam sebuah hadits :

كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى

“Setiap anak yang baru lahir MURTAHANUN (tergadaikan) dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur, dan diberikan nama.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah Rahimahullah, dan Al-Imam Al-Albany Rahimahullah menshahihkannya dalam Shahih Sunan Ibnu Majah No.2580).

Tentunya dalil akan disyariatkannya aqiqah yang juga memiliki nama lain yaitu nasikah tidak sebatas hadits di atas saja. Masih banyak dalil-dalil lainnya yang tidak memungkinkan untuk disebutkan semuanya dalam pembahasan ini.

Adapun hukum aqiqah, tidak dipungkiri kalau para ulama berselisih pendapat dalam hal ini :

1. Sunnah

Pendapat akan sunnahnya hukum aqiqah dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah, dan merupakan salah satu pendapat yang terkenal dari madzhab Hanbaliyyah.

Sunnah yang dimaksud di sini adalah jika dilakukan mendapatkan pahala, sedangkan jika ditinggalkan tidak berdosa.

Selain dari para ulama madzahab yang disebutkan di atas, sunnahnya hukum aqiqah juga merupakan pendapat Al-Imam Ibnul Qoyyim, Asy-Syaikh Bin Baz, Asy-Syaikh Al-Utsaimin, dan yang lainnya.

Para ulama yang berpendapat sunnah berpegang dengan hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang berbunyi :

كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى

“Setiap anak yang baru lahir MURTAHANUN (tergadaikan) dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur, dan diberikan nama.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah Rahimahullah, dan Al-Imam Al-Albany Rahimahullah menshahihkannya dalam Shahih Sunan Ibnu Majah No.2580).

Sisi pendalilan : Dalam hadits di atas digandengkan antara menyembelih dengan mencukur rambut serta memberikan nama. Sementara perkara yang diketahui bersama bahwa mencukur dan memberikan nama bagi bayi baru lahir hukumnya sunnah.

Oleh karena itu, berdasarkan sisi pendalilan ini, disimpulkan kalau hukum aqiqah adalah sunnah.

Dalil lainnya yang juga menguatkan pendapat sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :

من وُلِدَ لهُ ولدٌ فأحبَّ أن يَنسُكَ عنهُ فلينسُكْ عنِ الغلامِ شاتانِ مكافِئتانِ وعنِ الجاريةِ شاةٌ

“Barangsiapa yang dilahirkan seorang anak untuknya dan dia suka untuk menyembelihkan bagi anak tersebut, maka hendaknya dia menyembelih dua ekor kambing yang setara untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah  dalam Shahih Sunan Abu Daud No.2842 menganggap derajatnya hasan).

Sisi pendalilan : Kalimat “fa ahabba (dia suka)” menunjukkan adanya pilihan bagi yang mau melakukannya. Adanya pilihan dalam hadits di atas menunjukkan kalau hukum aqiqah adalah sunnah.

2. Wajib

Pendapat akan wajibnya hukum aqiqah dipegang oleh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, Al-Laits Ibnu Sa’ad, serta para ulama dari madzhab zhohiryyah.

Di antara dalil yang menjadi pegangan para ulama tersebut adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :

مع الغلامِ عَقيقةٌ، فأَهْريقوا عنه دَمًا، وأَمِيطوا عنه الأذَى

“Bersama dengan anak baru lahir ada aqiqahnya, maka alirkanlah darah untuknya (sembelihkan) dan singkirkan gangguan darinya.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Haditsnya dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah).

Sisi pendalilan : Kalimat “fa ahriiquu anhu daman (maka alirkanlah darah untuknya)” menggunakan kalimat perintah, sedangkan dalam sebuah kaedah disebutkan kalau asal kalimat perintah menunjukkan makna wajib.

Sebagian para ulama lainnya berpendapat kalau aqiqah hukumnya makruhnya. Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanafiyyah. Sebagian lainnya berpendapat kalau aqiqah sudah mansukh (terhapus) hukumnya, dan ini dipegang oleh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.

Tidak diragukan lagi kalau pendapat makruh dan mansukh merupakan pendapat paling lemah dari semua pendapat yang ada. Tinggal perbedaan pendapat antara wajib dan sunnah. Namun berdasarkan dalil-dalil yang ada, pendapat sunnahnya aqiqah lebih kuat. Wallahu A’lam.

Demikianlah penjelasan tentang apakah aqiqah wajib atau tidak dalam islam. Semoga bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kaum muslimin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *